Sabtu,
10 April 2016 bersama dengan Lembaga Peneliti ICAIOS dan juga komunitas yang
ada di Banda Aceh mengunjungi Gampong Baet Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh
Besar dalam kegiatan Wet-Wet Gampong. Kegiatan yang dikemas
dengan penelitian sekaligus wisata edukasi ini memberikan wawasan dan apresiasi
tersendiri dari pesertanya. Peserta yang berjumlah sekitar 35 orang melakukan
start pertama dari kantor ICAIOS di Darussalam. Tepatanya pukul 10.00 wib
bersama-sama menuju ke lokasi tempat pembuatan garam tradisonal tersebut.
Sambutan hangat diberikan oleh pemilik
tempat kepada kami.
Adalah Pak Amir, nama pemilik tempat tersebut.
Masih berumur sekitar 40-an tahun. Beliau menjelaskan bahwa proses pembuatan
garam tiap daerah berbeda-beda. Ini disebabkan karena kearifan lokal yang
dimiliki tiap daerah berbeda-beda. Kalau
masalah hasilnya, garam dari Dusun Payung Gampog Baet ini memiliki kualitas
yang bagus bila dibandingkan dengan garam-garam yang ada di daerah lain. Ini
dapat dibuktikan dengan rasanya yang asin murni (tidak terkandung rasa pahit)
dan bulirnya berbentuk kecil-kecil dan berwarna putih kilat.
Untuk proses pembuatan
garam Gampong Baet, dimulai dengan pengerukkan tanah yang memiliki kandungan
garam. Pengerukkannya harus dilakukan seperti anyaman tikar (berbentuk
horizontal-vertikal). Pengerukkan harus dilakukan selama 2 atau 3 hari dengan
ritme 1 kali sehari. Tiap-tiap selesai pengerukkan harus disiram dengan air.
Ini dilakukan agar uap garam naik ke permukaan tanah.
Setelah 2 atau 3 hari maka
air garam yang telah menguap seperti gelembung-gelembung di atas tanah di ambil
dan dimasukkan ke dalam wadah yang masyarakat sekitanya menyebutnya mount.
Mout ini fungsinya untuk
menyaring air garam. Ada kearifan lokal yang masih digunakan oleh masyarakat Baet
hingga sekarang ini dalam mendeteksi kandungan air garam. Caranya mereka
mengambil dahan dari pucuk pohon bakau, kemudian dahan tersebut dilemparkan ke
dalam air. Bila dahan tersebut mengampung maka kandungan garam dalam air
tersebut tinggi, namun bila dahan pucuk pohon bakau tersebut tenggelam, maka
dipastikan tidak ada kandungan garam dalam air tersebut. Ketika ditanya apakah boleh dengan dahan
pucuk pohon lain, Pak Amir menjelaskan bahwa cara deteksi dengan dahan pucuk
pohon bakau telah digunakan secara turun temurun, pernah mereka melakukan
dengan dahan pohon lain, namun tidak bisa.
Selanjutnya, air hasil
saringan tersebut dibawa dan dimasukkan ke dalam tempat penampungan air garam.
Gunanya untuk menyimpan air garam untuk dimasak bila sewaktu-waktu terjadi
musim hujan. Kemudian tahap terakhir air tersebut dimasak dalam kuali atau drum
bekas dengan menggunakan kayu bakar, proses
ini memakan waktu 3 atau 4 jam. Selama proses pemasakan air garam, buih buih
yang keluar harus dibuang. Ini gunanya untuk menghasilkan garam yang
putih. Setelah 3 atau 4 jam akan
menghasilkan butiran-bitiran garam. Setelah itu garam ditempatkan diwadahnya.
Ada yang menarik, katanya air sisa akhir dari proses pembuatan garam tersebut
dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit seperti rematik, sakit perut dan
terkilir. Caranya air sisa hasil atau masyarakat Gampog Baet menyebutnya suduk
dioleskan ditempat yang sakit. Lebih bagus lagi bila suduk tersebut dicampur
dengan irisan jahe merah.
Memang, bila diperhatikan
dari proses pembuatan garam Gampong Baet sangat lama bila dibandingkan dengan
proses di tempat yang lain. Di daerah yang lain sekarang proses pembuatan garam
banyak dilakukan dengan cara mengawinkan dengan bibit garam Madura. Ada kami
tanyakan apakah bisa dilakukan pengawinan? pak Amir menjelaskan bisa dilakukan
pengawinan bibit namun kualitasnya tidak bagus lagi. Untuk masalah harga, garam
Gampong Baet djual ke muge sekitar Rp. 3000,- s/d Rp. 4.000,- per bambu
(ukuran 5 kg). sedangkan muge
akan menjual lagi ke masyarakat sekitar Rp. 5.000,- s/d Rp. 6.000,-. Kegiatan wet-wet
gampong di akhiri dengan makan siang bersama.
Demikian kunjungan ke Gampong
Baet. Harapan Pak Amir dan masyarakat Gampong Baet agar adanya perhatian
pemerintah kepada para petani garam. Pembuatan garam Gampong Baet masih sangat
tradiosnal. Kalau bukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka tidak akan
melakukan pekerja yang mengurus fisik tersebut. Namun satu hal yang dapat kita
pelajari, “Bagaimanapun kemajuan zaman, kearifan lokal masih
dipertahankan”.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar anda. anda juga dapat melayangkan pertanyaan kepada saya melalui fitur ini, atau kirim langsung pertanyaan anda melalui eMail saya di sangpresiden01@gmail.com