Assalamualaikum wr.. wb..

"Yang Membedakan Kita Sekarang dengan 5 (Lima) Tahun akan Datang adalah Orang-Orang yang Kita Temui dan Buku-Buku yang Kita Baca (NN)"

Assalamualaikum wr.wb.

Selamat Datang ke Banda Aceh.. Kota Madani Syariat Islam..

Komik Aceh

Gam Cantoi merupakan sebuah Improvisasi dari gejala masyarakat yang melegenda..

Suatu Saat di Rumah Cut Nyak Dien

Bukan kurangnya kemampuan yang dapat melemahkan kehidupan, namun enggak cukupnya kesungguhan buat menggunakan kemampuan yang ada..

Hana Peng Hana Inong

Jak lam U Banda Aceh..!! Hana Pat Duk Dong Pih Jeut Cit..

Minggu, 10 April 2016

Menelusuri Pembuatan Garam Tradisional Ala Gampong Baet


Sabtu, 10 April 2016 bersama dengan Lembaga Peneliti ICAIOS dan juga komunitas yang ada di Banda Aceh mengunjungi Gampong Baet Kecamatan Mesjid Raya Kabupaten Aceh Besar dalam kegiatan Wet-Wet Gampong. Kegiatan yang dikemas dengan penelitian sekaligus wisata edukasi ini memberikan wawasan dan apresiasi tersendiri dari pesertanya. Peserta yang berjumlah sekitar 35 orang melakukan start pertama dari kantor ICAIOS di Darussalam. Tepatanya pukul 10.00 wib bersama-sama menuju ke lokasi tempat pembuatan garam tradisonal tersebut. Sambutan  hangat diberikan oleh pemilik tempat kepada kami.
 Adalah Pak Amir, nama pemilik tempat tersebut. Masih berumur sekitar 40-an tahun. Beliau menjelaskan bahwa proses pembuatan garam tiap daerah berbeda-beda. Ini disebabkan karena kearifan lokal yang dimiliki tiap daerah berbeda-beda.  Kalau masalah hasilnya, garam dari Dusun Payung Gampog Baet ini memiliki kualitas yang bagus bila dibandingkan dengan garam-garam yang ada di daerah lain. Ini dapat dibuktikan dengan rasanya yang asin murni (tidak terkandung rasa pahit) dan bulirnya berbentuk kecil-kecil dan berwarna putih kilat.
Untuk proses pembuatan garam Gampong Baet, dimulai dengan pengerukkan tanah yang memiliki kandungan garam. Pengerukkannya harus dilakukan seperti anyaman tikar (berbentuk horizontal-vertikal). Pengerukkan harus dilakukan selama 2 atau 3 hari dengan ritme 1 kali sehari. Tiap-tiap selesai pengerukkan harus disiram dengan air. Ini dilakukan agar uap garam naik ke permukaan tanah.
Setelah 2 atau 3 hari maka air garam yang telah menguap seperti gelembung-gelembung di atas tanah di ambil dan dimasukkan ke dalam wadah yang masyarakat sekitanya menyebutnya mount. Mout ini  fungsinya untuk menyaring air garam. Ada kearifan lokal yang masih digunakan oleh masyarakat Baet hingga sekarang ini dalam mendeteksi kandungan air garam. Caranya mereka mengambil dahan dari pucuk pohon bakau, kemudian dahan tersebut dilemparkan ke dalam air. Bila dahan tersebut mengampung maka kandungan garam dalam air tersebut tinggi, namun bila dahan pucuk pohon bakau tersebut tenggelam, maka dipastikan tidak ada kandungan garam dalam air tersebut.  Ketika ditanya apakah boleh dengan dahan pucuk pohon lain, Pak Amir menjelaskan bahwa cara deteksi dengan dahan pucuk pohon bakau telah digunakan secara turun temurun, pernah mereka melakukan dengan dahan pohon lain, namun tidak bisa.
Selanjutnya, air hasil saringan tersebut dibawa dan dimasukkan ke dalam tempat penampungan air garam. Gunanya untuk menyimpan air garam untuk dimasak bila sewaktu-waktu terjadi musim hujan. Kemudian tahap terakhir air tersebut dimasak dalam kuali atau drum bekas  dengan menggunakan kayu bakar, proses ini memakan waktu 3 atau 4 jam. Selama proses pemasakan air garam, buih buih yang keluar harus dibuang. Ini gunanya untuk menghasilkan garam yang putih.  Setelah 3 atau 4 jam akan menghasilkan butiran-bitiran garam. Setelah itu garam ditempatkan diwadahnya. Ada yang menarik, katanya air sisa akhir dari proses pembuatan garam tersebut dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit seperti rematik, sakit perut dan terkilir. Caranya air sisa hasil atau masyarakat Gampog Baet menyebutnya suduk dioleskan ditempat yang sakit. Lebih bagus lagi bila suduk tersebut dicampur dengan irisan jahe merah.
Memang, bila diperhatikan dari proses pembuatan garam Gampong Baet sangat lama bila dibandingkan dengan proses di tempat yang lain. Di daerah yang lain sekarang proses pembuatan garam banyak dilakukan dengan cara mengawinkan dengan bibit garam Madura. Ada kami tanyakan apakah bisa dilakukan pengawinan? pak Amir menjelaskan bisa dilakukan pengawinan bibit namun kualitasnya tidak bagus lagi. Untuk masalah harga, garam Gampong Baet djual ke muge sekitar Rp. 3000,- s/d Rp. 4.000,- per bambu (ukuran 5 kg).  sedangkan muge akan menjual lagi ke masyarakat sekitar Rp. 5.000,- s/d Rp. 6.000,-. Kegiatan wet-wet gampong di akhiri dengan makan siang bersama.
Demikian kunjungan ke Gampong Baet. Harapan Pak Amir dan masyarakat Gampong Baet agar adanya perhatian pemerintah kepada para petani garam. Pembuatan garam Gampong Baet masih sangat tradiosnal. Kalau bukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga mereka tidak akan melakukan pekerja yang mengurus fisik tersebut. Namun satu hal yang dapat kita pelajari, “Bagaimanapun kemajuan zaman, kearifan lokal masih dipertahankan”.

CHATTING